Senin lalu jam segini sedang duduk di lantai paling atas Global Plaza KNU, dinner dengan view sunset, buffet for free. One of the best days here.
Senin sebelumnya, di jam yang sama aku, Lidya, dan Denis lagi di luar gate keberangatan Airport Adi Sucipto Yogyakarta Senin ini? Nangkring di depan laptop disamping jendela yang viewnya kampus teknik. Anyway, teknik disini image-nya ga se-'wow' labeling teknik kalo di home university. How was my first 2 weeks?
0 Comments
1 Feb 2019
1hari setelah kelar masukin berkas visa Wagelasih kaya diary aja. Lol First month of 2019 finally well spent! Productively and smoothly well spent. Thanks God! So, 13 students of my class (including me) are going to spend few months of our life in Korea. Buat beberapa orang, ini klasik. Mahasiswa Korea ke Korea buat exchange. Well, yeaaaaa umum sih. Tapi seriusan there were moments when... mumet e raumum. Kembali di bulan yang sama aku menengok lagi blog ini. Rupanya cukup lama juga aku mengumpulkan lagi kepingan kepercayaan diri untuk menarikan jariku di keyboard laptop.
Aku baik saja, untuk kalian yang mungkin menanyakan kabarku. Yah kalau diantara kalian tidak ada yang menanyakan, izinkan kalimat itu tetap ada disini supaya nanti waktu aku kembali membuka kenangan ini, ku ingat aku baik-baik saja waktu menuliskan. Sepertinya kita dibilang keturunan Adam dan Hawa memang tidak diragukan lagi deh. Ingat kisah waktu Adam menyalahkan Hawa, kemudian Hawa menyalahkan ular untuk kesalahannya? Nah, sepertinya sifat itu diturunkan lewat gen nya, dan jadilah kita dimasa sekarang ini yang sepertinya masih mengantongi sifat itu.
Tulisan ini bukanlah tulisan seorang ibu, bukan juga seorang psikolog anak. Hanyalah seorang kakak tertua dari tiga bersaudara yang aktif di Sekolah Minggu dan salah satu tenaga pengajar di TK. Ada sebutan terlalu muda untuk menjadi ibu, tapi tidak ada istilah terlalu muda untuk memodali diri menjadi seorang ibu.
Menjadi anak tertua yang punya jarak usia yang jauh dengan adik – adik membuatku lebih banyak ikut main ke lingkungan teman sepermainan mama yang notabene ibu – ibu. Topik yang berputar diantara mereka adalah “Anakku…..”, “Si Mbarep…..”, “Si Kecil….”, dan nama anak – anak mereka. Dalam durasi 1 jam entah berapa kali nama mereka disebut. It's insane how time flies so fast. I can't believe that it's only 1 year left before I enter 20s age. Unfortunately I need 19 years of my life to realize that I was too often saying "Later...", "Wait until (number of 20s age)", or "(number) years again" as the replies of every "I want to..." statements.
Proses diawali dari mendengar, memberi asumsi, dan mencari informasi............... tidak di sumbernya. Gosip. Memori apa yang timbul ketika mencium bau obat? Kebahagiaan atau kesedihan? Minggu lalu baru saja aku keliling ke rumah sakit – rumah sakit untuk menjenguk adik – adik yang baru saja melihat dunia dalam hitungan jam. Kali itu bau obat melayangkan memori indah kebahagiaan. Bahkan kesakitan si ibu pun dapat dengan cepat terganti dengan tangisan bahagia. Aku yakin kala keluarga mereka termenung pasti masa depan lah yang terbayangkan. Apa yang kira – kira si bayi ucapkan pertama, bagaimana lucunya ia, apakah topi dengan telinga beruang akan cocok dengan dia, dan sebagainya.
To whom I will always be a little girl? Grandparents. Ketika dimarahi orangtua, kepada siapa aku mengadu? Ketika ingin sesuatu, kepada siapa aku meminta dengan mudah? Kakek dan Nenek. Seolah mereka selalu bisa diandalkan untuk segala keadaan.
Waktu. Mempercepat diri ketika anak manusia bahagia, dan memperlambat diri ketika mereka sedih. "Haduh, Rabi wae". Bisa jadi kalimat itu merupakan tagline aku tahun ini. Dari Januari, sampai siang tadi kalimat itu masih saja keluar dari bibirku beberapa kali.
Aku sendiri tidak paham bagaimana otakku bekerja
Aku meminta tanganku meraih gelas, dengan otak Aku meminta kakiku melangkah, dengan otak Aku meminta jantungku terus menerus berdetak, dengan otak Aku meminta paru - paruku tetap kembang kempis, dengan otak Sesungguhnya jarak hanya akan diam dan membiarkanmu menikmati kebersamaan.
Namun ada kalanya jarak bosan tidak diakui keberadaannya, ia pun membentang. Syukur, waktu masih berbelas kasih, sehingga kebersamaan masih ada walau hanya sewaktu – waktu. Kala itu Jarak mulai disebut – sebut dalam kebersamaan. Belum cukup bagi jarak, ia berkorelasi dengan waktu. Detik itu juga, tidak ada lagi kebersamaan. Jarak pun menang karena tiap ada orang bertanya mengapa kebersamaan hilang, namanya lah yang disebut. Entah aku bermimpi untuk hidup atau hidup untuk bermimpi. Aku ragu.
Aku tidak bisa memutuskan diantara pilihan itu. Tapi aku tahu akan timbul kehampaan yang besar ketika kita bernafas, melangkah, atau bahkan berlari tanpa mimpi. Riuh perkotaan, ramai kendaraan, gaduh aktivitas pekerja, berisik anak remaja memekakkan telinga. Namun sunyi yang dirasa.
Para manusia bernafas pada saat yang bersamaan, namun hanya hembusan napasku yang kurasa. Milyaran jantung memompa saat ini, namun hanya kudengar milikku saja. |
AuthorHi! I'm Abigail Adeline. You can call me whatever because I have a tons of nicknames. Currently a student and have a big willingness to be a mom in the future (IYALAH!). Through this blog I'm trying to share my experiences because you know what, learn from your own experiences is good but learn from others' experiences is better. Archives
January 2017
Categories
All
|